Reportase Pelatihan “Man Robbuka” Hari Kedua
Assalamu’alaikum, Akang Teteh HI’ers!
Masih tetap semangat mengikuti ulasan saya mengenai pelatihan ini, ya?
Alhamdulillah, mari kita melanjutkan untuk meresapi dan memahami
lanjutan pembahasan tentang “siapakah Tuhan kita?” Bagi yang belum
sempat mengukuti pelatihan hari kedua ini, tanggal 27 Juli 2013 ini,
jangan kuatir masih ada satu hari lagi besok (pada saat tulisan ini
dibuat). Pastikan akang-teteh HI’ers meluangkan waktu untuk
bersilaturahmi dan mengunduh ilmu secara langsung di Gedung Serba Guna
Universitas Widyatama.
Pembahasan hari kedua ini, kang Dicky
membukanya dengan bertanya kepada peserta tentang “Siapakah Tuhan Kita?”
Kang Dicky melanjutkan dengan definisi Tuhan sebagai yang disembah,
yang dipuja, ditakuti, yang diprioritaskan dan mampu membuat kita
melakukan apa yang tidak sukai. “Siapa Tuhan kita” menjadi motivasi
dalam benak kita untuk bertindak semasa hidup di dunia ini. Selanjutnya,
apakah kita benar-benar mengenal “siapa Tuhan kita” atau masih ada
Tuhan-Tuhan lain didalam benak kita, entah itu orang tua, entah itu
nilai, entah itu pacar atau hal-hal lain yang jauh dari Tuhan yang
sebenarnya. Kang Dicky mencontohkan, salah satunya, saat kita
berlalu-lintas di jalan raya. Apakah kita tertib hanya pada saat ada
polisi saja atau memang motivasi kita untuk berlaku tertib adalah Allah,
sebagai Tuhan kita, bukan hanya karena diawasi manusia belaka? Dalam
penyampaian materi hari ini, kang Dicky sengaja menyertakan lagu latar
yang disisipkan sebagai subliminal message, agar para peserta dapat lebih meresapi suasana materi yang disampaikan.
Kang Dicky melanjutkan materinya dengan
mengutip QS. Al-Baqarah ayat 156, tentang menjadikan sabar dan shalat
sebagai penolong. Ia mengajukan pertanyaan kepada hadirin, mengapa kita
diperintahkan “mendirikan” shalat, bukan hanya sekedar mengerjakan
shalat? “Mendirikan shalat” ternyata merupakan aplikasi ritual shalat
dalam kehidupan sehari-hari. Ia menambahkan bahwa ukuran manusiawi itu
menurut siapa, apakah menurut manusia atau menurut Tuhan? Manusiawi
menurut Tuhan adalah mampu mengendalikan diri menggunakan akal sebagai
senjata. Mengendalikan diri adalah menggunakan akal sebagai alat untuk
mengendalikan emosi atau nafsu. Akal adalah sarana yang diberikan Allah
sehingga menjadikan manusia sebagai mahluk yang sempurna menurut Allah.
Menggunakan akal sebagai sarana tersebut memunculkan paradigma sabar
sebagai bentuk pemakluman atau pengertian terhadap permasalahan yang
dihadapi, bukan artinya bahwa sabar adalah diam tidak berdaya. Dengan
pengertian demikian, maka ibadah sebagai sarana untuk mencari solusi,
bukanlah sebagai sarana untuk iba diri dalam menghadapi permasalahan.
Kang Dicky melanjutkan dengan kisah Nabi Ibrahim yang diperintahkan
untuk memenggal anaknya Nabi Ismail sebagai cerminan aplikasi sabar
dalam berpasrah dan memaklumi masalah sebagai kehendak Allah dalam
kejadian-kejadian yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
memaklumi atau memahami permasalahan, kita dituntut untuk tidak
“menyalahkan.” Contoh yang selanjutnya dikupas adalah mudahnya kita
menyalahkan atau merasa kesal terhadap tokoh yang namanya “iblis”
padahal bila dipahami, maka tanpa tokoh “iblis” sebagai penggoda maka
kita tidak dapat beribadah, karena tiap-tiap ciptaan Allah itu
diciptakan berpasang-pasangan, saling terikat dan saling mempengaruhi.
Dalam proses memahami, kita perlu menghilangkan penilaian secara
sepintas tapi lebih mendahulukan proses berpikir, karena sesuatu atau
yang menyebabkan seseorang menjadi “seperti itu” pasti ada lika-liku
penyebabnya. Begitu pula dalm memahami masalah, jangan mendahulukan
nafsu tapi mendahulukan proses analisis mengapa masalah tersebut terjadi
sampai bagian terkecil. Bila kita sampai pada tingkat pemahaman
tersebut, maka kita dapat merasakan bahwa pemakluman itu nikmat.
Mengikuti hawa nafsu merupakan hal yang
enak, makanya diulang-ulang karena kita merasakan kenikmatan pada saat
terjadi sensasi-sensasi emosional tersebut. Pada saat mengalami
sensasi-sensasi emosional yang namanya hawa nafsu tersebut, seharusnya
kita memilih berpikir menggunakan akal untuk bertindak menuju perubahan
sikap atau sudut pandang yang lebih baik. Dalam konteks tersebut, kita
akan semakin memahami bahwa hidup itu memang tidak mudah dan hidup itu
memerlukan berbagai ilmu pengetahuan untuk memahami apa yang kita hadapi
dan apa yang seharusnya kita lakukan. Kita tidak akan hanya sekedar
bertindak berdasarkan emosi, tapi memahami dan menganalisis untuk
bertindak sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Akibat dari
pengertian tersebut, maka doa yang paling baik tidak hanya dengan ucapan
saja tapi seharusnya dengan tindakan juga. Konsekuensi dari pola pikir
tersebut adalah kita akan memandang agama sebagai rangsangan berpikir
untuk setiap individu, bukan hanya sekedar doktrin tanpa pemahaman
tentang perintah-perintah Allah yang ala kadarnya kita lakukan. Jarang
sekali kita membongkar mengapa kita menyikapi suatu masalah melalui
sudut pandang tertentu, padahal sudut pandang yang kita gunakan bukanlah
mutlak tapi merupakan salah satu pilihan saja. Seringkali kita terjebak
pada sudut pandang yang lebih praktis karena kita enggan untuk berpikir
atau menganalisis persepsi yang kita gunakan sehingga berakibat
gejala-gejala emosional yang kita alami.
Kang Dicky kemudian mengajak para peserta
untuk melakukan simulasi dengan cara mencatat keburukan-keburukan sifat
masing-masing pada selembar kertas dengan tujuan untuk mengenali siapa
diri kita sebenarnya atau berterus terang tentang siapa diri kita
sebenarnya, bukannya melakukan pembenaran-pembenaran tentang siapa diri
kita sebenarnya. Kemudian, Kang Dicky menyuruh para peserta untuk
meremas lalu melempar kertas tersebut ke depan panggung dimana kang
Dicky berdiri. Kang Dicky lalu memaparkan bahwa sebenarnya makna dari
lempar Jumrah itu bukanlah melempari “setan” tapi melemparkan
“setan” keluar dari dalam diri kita. Hal tersebut berdasarkan
interptretasi QS An-Naas ayat ke 6 bahwa “setan” itu dari golongan jin
dan manusia, artinya setan itu adalah inner evil atau sifat
jelek yang dimiliki oleh insan dari golongan jin dan manusia. Kang Dicky
melanjutkan tentang ralitas dari kegiatan lempar Jumrah di
Jamarat. Insiden-insiden yang terjadi di Jamarat atau di Mina adalah
merupakan pertunjukan dari ego manusia, padahal, seharusnya, bukankah
ritual ibadah haji bertujuan untuk mengendalikan ego dan membuang
sifat-sifat buruk dari dalam diri kita?
Kang Dicky kemudian melanjutkan
pembahasan mengenai perspektif atau mengenai cara pandang terhadap
perbedaan yang terjadi diantara kita. Dalam menyikapi perbedaan pendapat
maka yang menjadi acuan adalah fakta, bukan ego pribadi yang didasarkan
pada doktrin. Kang Dicky melanjutkan simulasi kepada para peserta
dengan menunjukkan beberapa gambar ilusi optik sebagai ilustrasi mind perception.
Dalam melihat gambar-gambar ilusi optik tersebut, para peserta memiliki
pendapat yang berbeda-beda tentang gambar-gambar yang dilihatnya.
Perbedaan pendapat tersebut tidak dilarang karena merupakan proses
berpikir dalam memperhatikan atau mengenali sesuatu secara detail,
bukannya keukeuh berdasarkan doktrin atau cara pandang yang
diajarkan. Sekali lagi kang Dicky mengajak para peserta untuk
memperhatikan lebih dekat dan lebih detail atau melakukan analisis yang
mendalam, bukan mendahulukan emosi. Pola analisis mendalam dengan
memperhatikan detail menyebabkan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan yang
dicetuskan oleh tokoh-tokoh ilmuan Islam. Debat berdasarkan perbedaan
pendapat dengan melakukan pembenaran-pembenaran diajarkan agar kita
terpecah belah, sedangkan itu bukanlah ajaran Islam karena ajaran Islam
mengajarkan persatuan bukan perpecahan. Kang Dicky menegaskan bahwa
seribu argumen dapat dipatahkan oleh satu fakta karena Islam mengajarkan
untuk mencari fakta bukan beradu argumen. Dalam ajaran Islam, Allah
menyuruh kita untuk memperhatikan segala sesuatu secara keseluruhan,
sebagai dasar kepatuhan kita kepada Allah.
Dengan memahami mind perception,
kita belajar untuk mengendalikan diri kita bila sesuatu terjadi diluar
kehendak kita. Dalam menyikapi kehendak, Kang Dicky menegaskan bahwa
harta dan anak itu adalah cobaan, bukan aset karena seringkali kita
gagal mengelola harta dan anak hanya karena kenyataannya tidak sesuai
dengan keinginan kita. Kang Dicky melanjutkan pembahasan mengenai
persepi hari kiamat sebagai hari kehancuran, padahal yaum al-qiyamah
sendiri bermakna sebagai hari kebangkitan. Kebangkitan tersebut
bermakna tubuh kita yang sudah tidak bernyawa dibangkitkan kembali.
Secara sepintas, kang Dicky mengajak para peserta untuk membedakan
apakah itu tubuh, jiwa dan ruh.
Dasar pemikiran dari pengenalan terhadap “siapa Tuhan kita” merujuk kepada Luqmanul Hakim
yang mengajarkan kepada anaknya tentang siapa Tuhannya. Ternyata
pengenalan tersebut seharusnya menjadi dasar yang diajarkan kepada anak
sejak dini. Orang tua cenderung untuk memvonis apa yang sedang dialami
anaknya sejak dini, tapi enggan untuk mengerti apa yang sedang dialami
oleh anaknya tersebut. Padahal, sebagai orang tua, kita memiliki
kemampuan untuk mengerti siapa anak kita dan memberi pengetahuan kepada
anak kita sejak dini. Hal itu luput disadari karena kecenderungan
menganggap anak sebagai kebanggaan, bukan sebagai titipan. Mengenalkan
anak tentang “siapa Tuhannya” merupakan amanah orang tua yang
diperintahkan didalam Al-Quran melalui contohnya Luqmanul Hakim.
Orang tua memiliki amanah untuk membekali anak tersebut karena yang
membentuk persepsi anak tentang siapa dirinya sejak dini adalah orang
tuanya. Kang Dicky mengambil contoh tentang permasalahan yang dihadapi
anak pada saat remaja yaitu penyalah-gunaan narkoba. Permasalahan
tersebut muncul karena kurangnya pembekalan moral orang tua untuk
menyikapi pengaruh lingkungan dan pergaulan yang dihadapi oleh anak.
Orang tua cenderung mudah memercayakan pendidikan moral anak kepada
institusi pendidikan, padahal pada dasarnya tumbuh-kembang anak adalah
tanggung jawab orang tuanya. Anak hanya dipandang sebagai alat
kebanggan, motivasi mendidik anak bukan karena Allah tapi karena
kebanggaan yang diidamkan oleh orang tuanya.
Kang Dicky kemudian mengajak para peserta
untuk mengkaji, bukan sekedar membaca saja. Ia mengajak memperhatikan
profil Rasulullah yang dikatakan ummiy atau tidak bisa membaca,
padahal Rasulullah seorang pedagang atau pengusaha. Dalam konteks
tersebut, apakah yang tidak bisa “dibaca” oleh Rasulullah? Sesuatu yang
tidak bisa dibaca oleh Rasulullah adalah pesan yang dibawa oleh Jibril,
karena Jibril membawa pesan dalam bahasa baru yaitu bahasa wahyu.
Rasulullah kemudian menyikapi pesan tersebut dengan menerimanya,
kemudian memprosesnya, itulah makna dari sami’na wa atho’na.
Begitulah pula, sikap kita dalam mengkaji bukan sekedar membaca.
Kemudian, menjelang akhir acara, kang Dicky mengajak para peserta untuk
mengkaji diri. Fenomena panik, khawatir atau bersedih pada saat kita
kehilangan. Bersedih sesungguhnya adalah self pity atau iba
diri atau mengasihani diri sendiri. Kita bersedih karen kehilangan
sesuatu yang menguntungkan diri kita sendiri, kita lupa bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa yang terbaik, karena “semua yang
berasal dari Allah akan kembali kepada Allah.” Bila kita memilih untuk
percaya bahwa Allah mengetahui yang terbaik bagi diri kita, maka kita
tidak akan memilih untuk panik, khawatir atau bersedih. Manusiawi
menurut Allah adalah manusia yang dapat mengendalikan dirinya dengan
baik dan benar. Kunci dari ibadah puasa adalah pengendalian bukan
menahan. Pengendalian adalah distribusi, maka distribusikan nafsu kita
dengan baik dan benar. Akhirnya, kang Dicky menegaskan kembali bahwa
dalam mengkaji atau “mengaji” itu kita harus selalu bersikap hati-hati,
karena pengkajian itu memperhatikan detail.
Reporter: Ruby Ruhuddien
Rekaman Audio: Agus Deni Purnama
Sumber : Hinfo
0 komentar: